Pemenang Sebelum Apapun
Gugup. Aku memainkan ujung jilbab.
Lelaki dihadapanku ini masih saja terpaku datar. Tak berani aku menatap wajah
gelapnya yang sekilas tampak menyeramkan. Beberapa kali kuhela nafas panjang
seraya menampilkan mimik muka setenang-tenangnya.
“sudah siap?”
Cepat kuanggukan kepala. Tak ada
pilihan lain bagiku selain menghadapi tantangan ini. Kepalang tanggung,
pikirku. Lagipula aku sendiri yang pernah berikrar untuk rela menjadi ujung
tombak bagi harapan yang telah dirajut jauh-jauh hari.
“iftitah!” Kalimat perintah dengan
nada tenor dari lelaki dihadapanku ini seketika membuat aku semakin berdebar,
karena itu adalah isyrat agar aku segara memulai ‘perang’ yang (mungkin)
menakutkan bagi sebagian teman.
Perlahan kukeluarkan semua
hafalan-hafalan yang belakangan memenuhi isi kepalaku. Menguras waktuku, bahkan
aku merasakan ini hampir menjadi ‘beban pikiran’ bagiku. Satu per satu
kulantunkan semampuku. Sesekali tersendat, salah makhraj, salah tajwid, bahkan
aku harus mengulang hafalanku di beberapa tempat.
Sempat aku menoleh ke kanan, Nampak
mbak Tri Yuni Astuti melantunkan hafalan surat-surat dengan lafadz yang mantab
dan lantang. Ciut aku mendengarnya. Apalagi sebelum giliranku, telah tuntas
temanku yang lain. Elisa. Senyumnya berbeda setelah dia menyelesakan hafalannya.
Beberapa menit yang menegangkan
saat itu seperti berjalan lebih lambat dari biasannya. Tanganku dingin seperti
membeku. Begitupun otakku. Bagaimana bisa aku selalu lupa permulaan ayat yang
beliau minta. Memalukan. Aku juga selalu
tak benar dalam mengucapkan huruf ‘gho’.
Yah, aku tidak yakin bisa lolos
secara instant hanya dengan 3 kali privat. Entahlah. Aku juga tidak berharap
banyak untuk ujian tahfidz. Yang penting aku, Lisa dan Mbak Yuni telah
menuntaskan tantangan ini.
Komentar
Posting Komentar